Jumat, 16 Januari 2015

Esai : Tengok Citra Perpajakan Indonesia di Masa Depan Melalui Prespektif Komunikasi


PENDAHULUAN


Pada perkembangan jaman kini, pajak merupakan kebutuhan primer dalam suatu Negara, begitu pula pada Indonesia. Pajak yang diberlakukan suatu Negara yang mencakup berbagai aspek pengembangan Negara sehingga dapat di sebut sebagai sumber penerimaan potensial Negara untuk pembiayaan pengeluaran Negara dan pembangunan. Pada prinsipnya, pajak dalam suatu Negara merupakan buah dari simbiosis atau hubungan timbal balik yang secara faktual memberikan keuntungan antara kedua belahpihak yakni pemerintah dan rakyatnya(warga Negara wajib pajak)secara tidak langsung dan merupakan aset jangka  panjang keberlangsungan tata kelolah kenegaraan.
Namun selain itu pada hakekatnya, pajak menurut prespektif komunikasi ialah terjalinnya suatu hubungan antara kedua belah pihak yang berinteraksi secara terus-menerus dengan tersampaikannya  pesan berupa verbal maupun non verbal yang dapat dimaknai dengan hasil yang dicapai dalam interaksi tersebut. Mengacu pada prespektif komunikasi terhadap pajak, terdapat beberapa masalah yang kerap muncul dalam pendapat umum masyarakat terhadap interaksi yang tidak berjalan secara continyu (terus-menerus) pada salah satu pihak, yang tidak lain ialah sektor perpajakan itu sendiri.
Masih awamnya pemahaman masyarakat terhadap pemerintahan, khususnya pada sektor perpajakan membuat sangat mudahnya muncul prespektif public secara general tanpa asumsi dasar yang kuat. Sehingga akan berakibat pula pada perkiraan penerapan teori komunikasi massa yakni Agenda-setting theory yang akan berdampak pada citra negative sektor perpajakan itu sendiri. Hal ini dikarenakan media mengangkat hot issue negatif yang terjadi di sektor perpajakan ke ranah publik yang secara awam masih belum memahami komposisi kerja dari perpajakan itu sendiri, sehingga stigma negatif dan labeling masyarakat terhadap sektor perpajakan Negara kita sangat melekat.
Dari pemaparan singkat dan masalah yang muncul pada pendapat umum terhadap citra sektor perpajakan Republik Indonesia, saya akan mencoba menjabarkan tentang upaya  penetralisiran citra negatif sektor perpajakan Indonesia melalui pendekatan teori komunikasi massa efektif. Dengan ini akan adanya pengertian dan pemahaman yang baik serta tertananmnya nilai-nilai yang baik pula dari masyarakat sehingga akan membatu masyarakat dalam mengartikan suatu fenomena tanpa berpikiran skeptis(curiga) terhadap pemerintahan, khususnya sektor perpajakan.


ISI

A.      PENGERTIAN PAJAK
Di Indonesia, pajak dikenal sebagai system ‘pemalakan’ paksa pada masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah. Pajak yang sangat dekat bersinggungan dengan uang mengakibatkan sering dikaitkannya perpajakan dengan peluang criminal kerah putih yakni korupsi. Pada umumnya pengertian dari pajak ialah iuran wajib bagi masyarakat wajib pajak yang telah diatur oleh UU nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Hasil dari pemungutan pajak akan menuju pada kas Negara yang akan digunakan untuk biaya pengeluaran Negara dan untuk pembangunan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia sendiri perpajakan dikelolah oleh lembaga pemerintahan yaitu Direktorat Jendral Perpajakan di bawah naungan Kementrian Keuangan Republik Indonesia.
Mengacu pada pengertian pajak dan perpajakan secara yuridis yakni pada UUD  tahun 1945 pasal 23A dan UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan dapat dipaparkan bahwa pajak ialah iuran yang dapat dipaksakan berdasarkan dasar hukum yang jelas dengan tidak adanya timbal balik perseorangan secara langsung. Timbal balik pada asumsi perpajakan dan pajak ialah kontribusi pemerintah terhadap pembangunan dan pengembangan masyarakat dalam jangka panjang dengan menggunakan kas Negara yang merupakan sumber aliran dari dana pajak tersebut.

B.      PRESPEKTIF TEORI AGENDA SETTING MEDIA TERHADAP PERPAJAKAN DAN PUBLIK
‘Kemudahan akses informasi’ ialah semboyan abstraktif dari perkembangan teknologi media komunikasi. Mempermudah public untuk mengakses informasi sesuai dengan kebutuhannya merupakan hasil dari kemajuan dunia IPTEK. Namun dalam berjalannya perkembangan media, terjadi sedikit banyak kendala yang muncul sebagai dampak dari media massa, salah satunya ialah pengendalian pendapat umum. Secara teoritis, proses pembuatan wacana public yang akan berdampak pada ‘labeling’ atau sikap penstereotipan secara egaliter di public tidaklah salah, karena sesuai dengan proses berpikir kritis-rasional manusia merupakan asal-muasal gagasan mengenai penelitian ilmiah.
Namun ketika kita berbicara pada ranah pemerintahan yang mengkhususkan pada hal yang sensitivitasnya tinggi, tentu proses berpikir kritis-rasional bukan satu-satunya solusi untuk penarikan tesis, karena masih dibutuhkannya pengujian dengan antitesis sehingga dapat ditarik kesimpulan yang benar. Dalam persoalan pengendalian proses berpikir kritis-rasional pada masyarakat, banyak di ambil alih perannya oleh media massa.
Pada stigma negatif atau labeling publik terhadap sektor perpajakan di tanah air kita adalah salah satu bukti dari dampak media massa. Pada polanya, media massa lebih menekankan pada pengendalian agenda setting theory pada setiap pemberitaan sensitif. Teori tersebut memaparkan tentang pengendalian proses berpikir masyarakat yang di atur oleh media massa, sehingga apa yang dianggap media massa penting, maka masyarakat harus menganggap penting pula. [1]Oleh karena itu, apabila media massa memberikan perhatian pada isu tertentu dan mengabaikan yang lainnya, akan memiliki pengaruh pada pendapat umum. Asumsi ini berasal dari asumsi lain bahwa media massa memiliki efek yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar dan bukan berkaitan dengan perubahan sikap dan pendapat.
Pada persoalan stigma negatif atau citra buruk dari perpajakan akibat dari kasus korupsi yang di angkat secara intensif oleh media massa, maka secara tidak langsung media massa memberikan bilik ruang penjara bagi perpajakan Indonesia di mata publik, karena publik akan menilai buruknya kasus tersebut.
Padahal, jika di tinjau dari eksistensi sektor perpajakan Republik Indonesia kita ini, kasus korupsi yang terjadi di sektor tersebut hanyalah segelintir krikil yang menerjang jalan laju perpajakan, dan  sektor perpajakan sendiri telah memberikan baktinya dengan sistematis yang sesuai dengan prosedur dan aturan UU.  Namun mengapa kepercayaan masyarakat masihlah tipis terhadap perpajakan Indonesia? Maka jawabannya ialah pengaruh media yang tinggi.

C.      UPAYA PERBAIKAN KINERJA DAN CITRA PERPAJAKAN MELALUI PENDEKATAN KOMUNIKASI MASSA
Media massa sangat menunjang citra suatu instansi di mata public atau masyarakat, baik atau buruknya citra instansi, tergantung dari kebenaran yang terjadi dan pengemasan dalam pemberitaan di publik. Dari pemaparan teori agenda setting yang dilakukan oleh media terhadap salah satu kasus yang menimpa sektor perpajakan Indonesia sehingga mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah itu, merupakan gambaran jelas bahwa media massa masih menjadi dewa pop bagi sebagian besar masyarakat.
Untuk perbaikan kinerja dan citra perpajakan sesuai dengan sedia kalanya merupakan pekerjaan rumah yang sulit. Karena tidak ada kebijakan yang ditawarkan oleh pemerintah yang dapat membuat semua orang senang. Sehingga untuk perbaikan citra tersebut merupakan langkah lanjutan memupuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan khususnya sektor perpajakan Indonesia dengan cara pendekatan kepada masyarakat tentang prinsip pembentukan ‘Good Gevormance’. Pendekatan tensebut merupakan salah satu cara menetralisir citra negatif yang terlanjur melekat di memori publik.
Salah satu strategi efektif dalam pendekatan terhadap masyarakat ialah melalui media. Sehingga perlu dijabarkannya strategi ini melalui pendekatan teori komunikasi massa. Seperti halnya media massa yang mampu menghancurkan nama baik sebuah perusahaan, namun media massa pula yang mampu mengangkat derajat perusahaan atau instansi di mata publik.
Hal-hal yang perlu dilakukan oleh sektor perpajakan Indonesia atau lebih tepatnya Direktorat Jendral Perpajakan RI ialah (1) menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat dengan cara transparansi, dan perombakan sistem birokasi. Sehingga masyarakat dapat menilai secara substantive bahwa Direktorat Jendral Perpajakan memberikan kemudahan sistem pula kepada masyarakat; (2) melakukan pemberitaan positif terhadap pencapaian sektor perpajakan yang disebar luaskan oleh media massa secara berkala; (3) penerapan sikap egaliter (penyetaraan) terhadap semua warga negara wajib pajak dan menghapuskan sistem ‘lobying’.
Dengan menerapkan 3 poin penting dalam jalannya sektor, maka akan adanya perubahan publik terhadap kepercayaan yang awalnya menipis. Karena pada dasaranya Negara kita diatur oleh Undang-Undang yang merupakan pokok yuridis atau hukum yang jelas, begitu pula pada keinginan publik. Dengan mengacu pada UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka seharusnya tanpa dimintapun informasi mengenai titik capai dan kendala dalam sebuah instansi haruslah bersifat transparan.
Salah satu cara untuk menggapai harapan kepercayaan, kerjasama, bantuan dan pengertian public mengenai jalannya pemerintahan baik pusat maupun sektor-sektornya, ialah melalui pemaparan informasi secara jelas dan teratur melalui media massa secara merata pula. Karena melalui media massa, dengan pemberitaan positif secara berkala, terus-menerus, dan teratur maka secara langsung akan diterapkannya teori hipodermik atau teori jarum suntik kepada masyarakat yang akan mempengaruhi prespektif atau pandangan publik terhadap suatu kebaikan instansi.



PENUTUP
Upaya merubah pendapat dan pandangan umum terhadap suatu instansi permerintah khususnya pada sektor perpajakan dengan nama Direktorat Jendral Perpajakan Republik Indonesia merupakan tugas yang berat dikarenakan lingkungan kerja dari perpajakan itu sendiri yang berhubungan dengan uang, dimana uang merupakan objek pembahasan yang sensitif bagi sebagian besar masyarakat, terlebih pada negara Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya termasuk dalam golongan perekonomian menengan kebawah.
Dengan segala macam pembaharuan teknologi telematika yang menunjang kemajuan kinerja seektor perpajakan Indonesia saja belumlah cukup untuk mengubah cara pandang public terhadap citra negatif dari perpajakan. Masih sedikitnya pemberitaaan kinerja pemerintah khususnya pada sektor perpajakan yang terekspose oleh media, sehingga sebagian besar dari masyarakat belum mengetahui titik capai dan prestasi perpajakan.
Perpajakan pada dasarnya telah memiliki media pemberitaan ang secara intensif dapat di akses oleh masyarakat yakni melalui situs website www.pajak.go.id, namun sekali lagi perpu ditekankan bahwa masyarakat Indonesia bukan pengakses aktif internet dan mereka lebih mengefesienkan pemberitaan yang terekspos oleh media televisi dan surat kabar.
Jumlah dari masyarakat maya atau dalam dunia sosiologi dan komunikasi disebut sebagai cybercommunity  belum mencangkup presentasi tinggi sehingga dinilai masih kurang efektif nya media internet untuk menyebarkan informasi, terlebih tentang pemberitaan positif mengenai titik capai atau hasil pencapain dari suatu instansi pemerintah. Berbeda halnya apabila pemberitaan mengenai hasil pencapaian sektor perpajakan di akses oleh media massa online khusus yang memang sudah dikenal oleh masyarakat sebagai media informasi berita seperti detik.com, republika.com, merdeka.com dan banyak lagi lainnya. Sehingga persoalan media mana yang akan digunakan, media massa online bukanlah tidak mungkin efeesian untuk persebaran informasi khusus masyarakat maya apabila kerjasama yang dilakukan oleh sektor perpajakan Indonesia dengan media massa online. Dan untuk masayarakat nyata, perlu diakannya kerjasama pula dengan media massa elektronik dan cetak sehingga pemeritaan yang akan diadakan secara teratur, dan terus menerus mengenai kinerja pemerintahan dapat di ketahui oleh masyarakat hingga pelosok nusantara.
Hasil yang akan dicapai nantinya bukanlah kemustahilan akan kepercayaan masyarakat yang meningkat terhadap perpajakan Indonesia. Penguasaan teori hipodermik pada media massa dapat membantu menaikan citra perpajakan dimata public dengan menampilkan kebenaran. Kebenaran bukan hanya sisi gelap yang harus terekspose, namun prestasi dan hasil yang membanggakan pula harus dan wajib diketahui oleh masyarakat, sebab masyarakat tidak akan memahami suatu persoalan apabila tidak adanya kejelasan informasi yang di dapatkannya. Kembali pada hakekat yuridis mengenai hak dari masyarakat untuk mengetahui informasi yang telah tertulis pada Undang-Undang Nomor 14  Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, seharusnya pemerintahan khususnnya dalam sektor perpajakan tidak menganggap Undang-Undang tersebut hanya peraturan formalitas saya. Sehingga perlu adanya perombakan birokrasi pelayanan informasi untuk publik. Niscaya Citra dari Direktort Jendral Perpajakan Republik Indonesia akan meningkat dan public akan memberikan respon yang sewarnya mengenai pendapat umum negative yang pernah ada di sektor perpajakan hanya berita basi yang harus di buang.



[1] Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Kencana , Jakarta , 2006, hlm : 279-280

Opini : "Pertelevisian : ‘Nyawa’ Kami di Tangan Negara (TVRI) "


Oleh : Novian Dede Prakoso

Dunia kejurnalistikan merupakan pilar informasi masyarakat yang dapat membuat sebuah evolusi, bahkan revolusi dalam suatu Negara dapat mengendalikan arus pemikiran humani Negara tersebut. Dunia media massa merupakan potret kondisi politik suatu Negara. Video jurnalistik atau lebih disebut dengan televise merupakan teknologi pengembangan dari media jurnalistik cetak yang menyajikan informasi melalui audio visual kepada khalayak.
 Pada hakikatnya, hajat hidup pertelevisian dipengaruhi oleh banyak tidaknya advertaising atau periklanan yang masuk.  Namun tidak semua dari televise di Indonesia menggantungkan hidupnya pada periklanan. Ada salah satu stasiun televise yang tidak sepenuhnya dapat disebut sebagai televise komersil, yakni Televisi Republik Indonesia (TVRI). TVRI menjadi akses utama pemerintahan dalam menyampaikan kebijakannya sehingga TVRI dikenal pula dengan julukan televise nasional.
Televise hasil bentukan Presiden pertama Indonesia, bapak Ir. Soekarno pada tahun 1962 ini, 85% mendapatkan dana oprasionalnya dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), sedangkan 15 % lainnya didapatkan dari komersial advertaising atau periklanan (non APBN). Ketergantungan TV nasional pada dana APBN ini mengakibatkan tidak adanya pengendalian secara internal dalam instansi pertelevisian ini, sebab pemegang kendali utama didalamnya ialah politik Negara itu sendiri. Bahkan untuk menetralisir unsur kepolitikan dalam pemerintah TVRI terpaksa harus mengesampingkan unsur dan aturan jurnalistik baku.
Keterbatasan dana APBN serta kebijakan terbatasinya system komersial berupa iklan mengakibatkan tebatasnya pula kendali pengembangan perusahaan baik secara jangakauan, maupun keberagaman program tayangan. Padahal, dalam penayangannya, TVRI lebih condong untuk mengeksplorasi jati diri kebudayaan Indonesia yang mendidik. Kesadaran yang minim dari stasiun televise lain atau televise swasta yang lebih mengarah pada penayangan hiburan modern dan periklanan komersial seakan ingin melepaskan citra kulturalis dalam balutan busana Indonesia.
Dari realitas miris pertelevisian swasta Indonesia, menampakan adanya kepentingan komersial belaka sehingga mengurangi aspek kualitas dari programnya. Jika dilihat dari tujuan utama media massa yaitu menyampaikan informasi yang mendidik, TVRI lah satu-satunya televise yang tetap mempertahankan program tanyangan tentang kebudayaan Indonesia yang bertujuan untuk mencerdaskan bangsa dan membangun kesadaran rasa nasionalisme. Namun, dengan tujuan yang terhormat, TVRI justru tidak mendapatkan dukungan yang pantas dari pemerintah. Terbukti dari adanya pemotongan dana APBN untuk TVRI sehingga mengakibatkan goyahnya satasiun televise nasional tersebut. Padahal, untuk mensosialisasikan rasa kepemilikan akan budaya Indonesia melalui tayangan audio visual sendiri, haruslah mendapatkan dukungan yang besar berupa financial dan moril dari pemerintah pusat.
Seolah berkeluh kesah kepada generasi penerus bangsa yaitu mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Teknologi Sumbawa pada hari kamis, 28 Agustus 2014, Ari Purnomo Aji selaku direktur utama TVRI Pusat di daerah Senayan, Jakarta Pusat, dalam diskusi media massa video jurnalistik menyampaikan beberapa kenyataan dan fakta mengenai pertelevisian yang bergerak dibawah kendali pemerintah. “Keterbatasan kami yang disebabkan oleh minimnya dana APBN untuk TVRI, menimbulkan kemerosotan dari kami jika disorot dari segi kuantitas maupun kualitas kami, seperti kurang maksimalnya pemanfaatan teknologi penyiaran, contohnya saja di daerah indonesia sendiri masih terdapat banyak daerah yang tidak bisa jaringan kami menjangkaunya, padahal stasiun televise swasta sudah lama masuk di sana.” Ujar beliau pada diskusi tersebut.
Kemunduran kualitas sumber daya manusia (SDM) tentu saja tidak dapat dihindari oleh seluruh karyawan sebab persoalan financial yang memang sensitive dalam sebuah oprasional. Namun secara internal TVRI tetap menuntut keprofesionalan dari karyawannya. Jalan pintas lain untuk mengatasi keterbatasan dari TVRI, yaitu dengan merevisi pola karakteristik pemberitaan yang dibuat semakin mendidik tanpa ada unsur pembodohan masyarakat.
APBN Negara memang sangat menentukan hidup dan mati dari TVRI, namun dengan kesederhanaan dan minimalnya dana  untuk oprasional, TVRI terus berusaha untuk memberikan informasi yang mendidik serta berkualitas dan tetap berpegang teguh pada tujuan utamanya yaitu menanamkan jati diri bangsa Indonesia yang kaya akan suku dan budaya yang harus dijaga oleh setiap warga Negara Indonesia sehingga timbulah rasa memiliki akan budaya itu sendiri. 


visit : UNIVERSITAS TEKNOLOGI SUMBAWA