PENDAHULUAN
Pada perkembangan
jaman kini, pajak merupakan kebutuhan primer dalam suatu Negara, begitu pula
pada Indonesia. Pajak yang diberlakukan suatu Negara yang mencakup berbagai
aspek pengembangan Negara sehingga dapat di sebut sebagai sumber penerimaan
potensial Negara untuk pembiayaan pengeluaran Negara dan pembangunan. Pada
prinsipnya, pajak dalam suatu Negara merupakan buah dari simbiosis atau
hubungan timbal balik yang secara faktual memberikan keuntungan antara kedua
belahpihak yakni pemerintah dan rakyatnya(warga Negara wajib pajak)secara tidak
langsung dan merupakan aset jangka panjang
keberlangsungan tata kelolah kenegaraan.
Namun selain itu
pada hakekatnya, pajak menurut prespektif komunikasi ialah terjalinnya suatu
hubungan antara kedua belah pihak yang berinteraksi secara terus-menerus dengan
tersampaikannya pesan berupa verbal
maupun non verbal yang dapat dimaknai dengan hasil yang dicapai dalam interaksi
tersebut. Mengacu pada prespektif komunikasi terhadap pajak, terdapat beberapa
masalah yang kerap muncul dalam pendapat umum masyarakat terhadap interaksi
yang tidak berjalan secara continyu (terus-menerus) pada salah satu pihak, yang
tidak lain ialah sektor perpajakan itu sendiri.
Masih awamnya
pemahaman masyarakat terhadap pemerintahan, khususnya pada sektor perpajakan
membuat sangat mudahnya muncul prespektif public secara general tanpa asumsi
dasar yang kuat. Sehingga akan berakibat pula pada perkiraan penerapan teori komunikasi
massa yakni Agenda-setting theory
yang akan berdampak pada citra negative sektor perpajakan itu sendiri. Hal ini
dikarenakan media mengangkat hot issue
negatif yang terjadi di sektor perpajakan ke ranah publik yang secara awam
masih belum memahami komposisi kerja dari perpajakan itu sendiri, sehingga
stigma negatif dan labeling masyarakat terhadap sektor perpajakan Negara kita
sangat melekat.
Dari pemaparan
singkat dan masalah yang muncul pada pendapat umum terhadap citra sektor
perpajakan Republik Indonesia, saya akan mencoba menjabarkan tentang upaya penetralisiran citra negatif sektor
perpajakan Indonesia melalui pendekatan teori komunikasi massa efektif. Dengan
ini akan adanya pengertian dan pemahaman yang baik serta tertananmnya
nilai-nilai yang baik pula dari masyarakat sehingga akan membatu masyarakat
dalam mengartikan suatu fenomena tanpa berpikiran skeptis(curiga) terhadap
pemerintahan, khususnya sektor perpajakan.
ISI
A.
PENGERTIAN
PAJAK
Di Indonesia, pajak dikenal sebagai system
‘pemalakan’ paksa pada masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah. Pajak yang
sangat dekat bersinggungan dengan uang mengakibatkan sering dikaitkannya
perpajakan dengan peluang criminal kerah putih yakni korupsi. Pada umumnya pengertian
dari pajak ialah iuran wajib bagi masyarakat wajib pajak yang telah diatur oleh
UU nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Hasil
dari pemungutan pajak akan menuju pada kas Negara yang akan digunakan untuk biaya
pengeluaran Negara dan untuk pembangunan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia
sendiri perpajakan dikelolah oleh lembaga pemerintahan yaitu Direktorat Jendral
Perpajakan di bawah naungan Kementrian Keuangan Republik Indonesia.
Mengacu pada pengertian pajak dan perpajakan
secara yuridis yakni pada UUD tahun 1945
pasal 23A dan UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara
perpajakan dapat dipaparkan bahwa pajak ialah iuran yang dapat dipaksakan
berdasarkan dasar hukum yang jelas dengan tidak adanya timbal balik
perseorangan secara langsung. Timbal balik pada asumsi perpajakan dan pajak
ialah kontribusi pemerintah terhadap pembangunan dan pengembangan masyarakat
dalam jangka panjang dengan menggunakan kas Negara yang merupakan sumber aliran
dari dana pajak tersebut.
B.
PRESPEKTIF
TEORI AGENDA SETTING MEDIA TERHADAP PERPAJAKAN DAN PUBLIK
‘Kemudahan akses informasi’ ialah semboyan
abstraktif dari perkembangan teknologi media komunikasi. Mempermudah public
untuk mengakses informasi sesuai dengan kebutuhannya merupakan hasil dari
kemajuan dunia IPTEK. Namun dalam berjalannya perkembangan media, terjadi
sedikit banyak kendala yang muncul sebagai dampak dari media massa, salah
satunya ialah pengendalian pendapat umum. Secara teoritis, proses pembuatan
wacana public yang akan berdampak pada ‘labeling’ atau sikap penstereotipan
secara egaliter di public tidaklah salah, karena sesuai dengan proses berpikir
kritis-rasional manusia merupakan asal-muasal gagasan mengenai penelitian
ilmiah.
Namun ketika kita
berbicara pada ranah pemerintahan yang mengkhususkan pada hal yang
sensitivitasnya tinggi, tentu proses berpikir kritis-rasional bukan
satu-satunya solusi untuk penarikan tesis, karena masih dibutuhkannya pengujian
dengan antitesis sehingga dapat ditarik kesimpulan yang benar. Dalam persoalan
pengendalian proses berpikir kritis-rasional pada masyarakat, banyak di ambil
alih perannya oleh media massa.
Pada stigma
negatif atau labeling publik terhadap sektor perpajakan di tanah air kita
adalah salah satu bukti dari dampak media massa. Pada polanya, media massa
lebih menekankan pada pengendalian agenda
setting theory pada setiap pemberitaan sensitif. Teori tersebut memaparkan
tentang pengendalian proses berpikir masyarakat yang di atur oleh media massa,
sehingga apa yang dianggap media massa penting, maka masyarakat harus
menganggap penting pula. [1]Oleh
karena itu, apabila media massa memberikan perhatian pada isu tertentu dan
mengabaikan yang lainnya, akan memiliki pengaruh pada pendapat umum. Asumsi ini
berasal dari asumsi lain bahwa media massa memiliki efek yang sangat kuat,
terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar dan bukan berkaitan
dengan perubahan sikap dan pendapat.
Pada persoalan
stigma negatif atau citra buruk dari perpajakan akibat dari kasus korupsi yang
di angkat secara intensif oleh media massa, maka secara tidak langsung media
massa memberikan bilik ruang penjara bagi perpajakan Indonesia di mata publik,
karena publik akan menilai buruknya kasus tersebut.
Padahal, jika di
tinjau dari eksistensi sektor perpajakan Republik Indonesia kita ini, kasus
korupsi yang terjadi di sektor tersebut hanyalah segelintir krikil yang menerjang
jalan laju perpajakan, dan sektor
perpajakan sendiri telah memberikan baktinya dengan sistematis yang sesuai
dengan prosedur dan aturan UU. Namun
mengapa kepercayaan masyarakat masihlah tipis terhadap perpajakan Indonesia?
Maka jawabannya ialah pengaruh media yang tinggi.
C.
UPAYA
PERBAIKAN KINERJA DAN CITRA PERPAJAKAN MELALUI PENDEKATAN KOMUNIKASI MASSA
Media massa sangat
menunjang citra suatu instansi di mata public atau masyarakat, baik atau
buruknya citra instansi, tergantung dari kebenaran yang terjadi dan pengemasan
dalam pemberitaan di publik. Dari pemaparan teori agenda setting yang dilakukan
oleh media terhadap salah satu kasus yang menimpa sektor perpajakan Indonesia
sehingga mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap instansi
pemerintah itu, merupakan gambaran jelas bahwa media massa masih menjadi dewa
pop bagi sebagian besar masyarakat.
Untuk perbaikan
kinerja dan citra perpajakan sesuai dengan sedia kalanya merupakan pekerjaan
rumah yang sulit. Karena tidak ada kebijakan yang ditawarkan oleh pemerintah
yang dapat membuat semua orang senang. Sehingga untuk perbaikan citra tersebut merupakan
langkah lanjutan memupuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan khususnya
sektor perpajakan Indonesia dengan cara pendekatan kepada masyarakat tentang
prinsip pembentukan ‘Good Gevormance’. Pendekatan tensebut merupakan salah satu
cara menetralisir citra negatif yang terlanjur melekat di memori publik.
Salah satu
strategi efektif dalam pendekatan terhadap masyarakat ialah melalui media.
Sehingga perlu dijabarkannya strategi ini melalui pendekatan teori komunikasi
massa. Seperti halnya media massa yang mampu menghancurkan nama baik sebuah
perusahaan, namun media massa pula yang mampu mengangkat derajat perusahaan
atau instansi di mata publik.
Hal-hal yang perlu
dilakukan oleh sektor perpajakan Indonesia atau lebih tepatnya Direktorat
Jendral Perpajakan RI ialah (1) menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat
dengan cara transparansi, dan perombakan sistem birokasi. Sehingga masyarakat
dapat menilai secara substantive bahwa Direktorat Jendral Perpajakan memberikan
kemudahan sistem pula kepada masyarakat; (2) melakukan pemberitaan positif
terhadap pencapaian sektor perpajakan yang disebar luaskan oleh media massa
secara berkala; (3) penerapan sikap egaliter (penyetaraan) terhadap semua warga
negara wajib pajak dan menghapuskan sistem ‘lobying’.
Dengan menerapkan
3 poin penting dalam jalannya sektor, maka akan adanya perubahan publik
terhadap kepercayaan yang awalnya menipis. Karena pada dasaranya Negara kita
diatur oleh Undang-Undang yang merupakan pokok yuridis atau hukum yang jelas,
begitu pula pada keinginan publik. Dengan mengacu pada UU Nomor 14 tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka seharusnya tanpa dimintapun
informasi mengenai titik capai dan kendala dalam sebuah instansi haruslah
bersifat transparan.
Salah satu cara
untuk menggapai harapan kepercayaan, kerjasama, bantuan dan pengertian public
mengenai jalannya pemerintahan baik pusat maupun sektor-sektornya, ialah
melalui pemaparan informasi secara jelas dan teratur melalui media massa secara
merata pula. Karena melalui media massa, dengan pemberitaan positif secara
berkala, terus-menerus, dan teratur maka secara langsung akan diterapkannya
teori hipodermik atau teori jarum suntik kepada masyarakat yang akan
mempengaruhi prespektif atau pandangan publik terhadap suatu kebaikan instansi.
PENUTUP
Upaya merubah
pendapat dan pandangan umum terhadap suatu instansi permerintah khususnya pada
sektor perpajakan dengan nama Direktorat Jendral Perpajakan Republik Indonesia
merupakan tugas yang berat dikarenakan lingkungan kerja dari perpajakan itu
sendiri yang berhubungan dengan uang, dimana uang merupakan objek pembahasan
yang sensitif bagi sebagian besar masyarakat, terlebih pada negara Indonesia
yang sebagian besar masyarakatnya termasuk dalam golongan perekonomian menengan
kebawah.
Dengan segala
macam pembaharuan teknologi telematika yang menunjang kemajuan kinerja seektor
perpajakan Indonesia saja belumlah cukup untuk mengubah cara pandang public
terhadap citra negatif dari perpajakan. Masih sedikitnya pemberitaaan kinerja pemerintah
khususnya pada sektor perpajakan yang terekspose oleh media, sehingga sebagian
besar dari masyarakat belum mengetahui titik capai dan prestasi perpajakan.
Perpajakan pada
dasarnya telah memiliki media pemberitaan ang secara intensif dapat di akses
oleh masyarakat yakni melalui situs website www.pajak.go.id,
namun sekali lagi perpu ditekankan bahwa masyarakat Indonesia bukan pengakses
aktif internet dan mereka lebih mengefesienkan pemberitaan yang terekspos oleh
media televisi dan surat kabar.
Jumlah dari
masyarakat maya atau dalam dunia sosiologi dan komunikasi disebut sebagai cybercommunity belum mencangkup presentasi tinggi sehingga
dinilai masih kurang efektif nya media internet untuk menyebarkan informasi,
terlebih tentang pemberitaan positif mengenai titik capai atau hasil pencapain dari
suatu instansi pemerintah. Berbeda halnya apabila pemberitaan mengenai hasil
pencapaian sektor perpajakan di akses oleh media massa online khusus yang
memang sudah dikenal oleh masyarakat sebagai media informasi berita seperti
detik.com, republika.com, merdeka.com dan banyak lagi lainnya. Sehingga
persoalan media mana yang akan digunakan, media massa online bukanlah tidak
mungkin efeesian untuk persebaran informasi khusus masyarakat maya apabila
kerjasama yang dilakukan oleh sektor perpajakan Indonesia dengan media massa
online. Dan untuk masayarakat nyata, perlu diakannya kerjasama pula dengan
media massa elektronik dan cetak sehingga pemeritaan yang akan diadakan secara
teratur, dan terus menerus mengenai kinerja pemerintahan dapat di ketahui oleh
masyarakat hingga pelosok nusantara.
Hasil yang akan
dicapai nantinya bukanlah kemustahilan akan kepercayaan masyarakat yang
meningkat terhadap perpajakan Indonesia. Penguasaan teori hipodermik pada media
massa dapat membantu menaikan citra perpajakan dimata public dengan menampilkan
kebenaran. Kebenaran bukan hanya sisi gelap yang harus terekspose, namun
prestasi dan hasil yang membanggakan pula harus dan wajib diketahui oleh
masyarakat, sebab masyarakat tidak akan memahami suatu persoalan apabila tidak
adanya kejelasan informasi yang di dapatkannya. Kembali pada hakekat yuridis
mengenai hak dari masyarakat untuk mengetahui informasi yang telah tertulis
pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik, seharusnya pemerintahan khususnnya dalam
sektor perpajakan tidak menganggap Undang-Undang tersebut hanya peraturan
formalitas saya. Sehingga perlu adanya perombakan birokrasi pelayanan informasi
untuk publik. Niscaya Citra dari Direktort Jendral Perpajakan Republik
Indonesia akan meningkat dan public akan memberikan respon yang sewarnya
mengenai pendapat umum negative yang pernah ada di sektor perpajakan hanya
berita basi yang harus di buang.